Kata Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya maka Penyusun
dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan tema “Anak Jalanan(ANJAL)” yang
berjudul “Dilematika Anak Jalanan”.
Pembuatan makalah
ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah Character Building.
Dalam penyusunan
makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan kami yang masih dalam tahap
pembelajaran. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan
demi penyempurnaan makalah ini.
Dalam penyusunan
makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini, khususnya kepada:
- Tuhan YME atas rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
- Kedua orang tua yang telah mendukung kegiatan kami
- Ibu Eneng Iviq Hairo Rahayu, S.Psi selaku dosen mata kuliah Character Building
- Rekan-rekan kelas 12.2A.04
- Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penyusunan makalah ini .
Bekasi, 28 November 2011
Penyusun
I
Daftar Isi
Kata Pengantar : ………………………….. I
Daftar Isi : ………………………….. II
Bab I.
Pendahuluan : …………………………..
I.1 Latar
Belakang Masalah :
………………………….. 1-2
I.2 Batasan
Masalah :
………………………….. 2
I.3 Tujuan
Penelitian :
………………………….. 2
I.4 Manfaat
Penelitian :
………………………….. 3
I.5 Landasan
Teori :
…………………………..
I.5.1
Konsep Anak :
………………………….. 3
I.5.2
Konsep Anak Jalanan :
………………………….. 4
I.5.3
Konsep Keluarga :
………………………….. 4
Bab II. Pembahasan : ………………………….. 5-14
Bab III. Penutup : ………………………….. III
Daftar Pustaka : ………………………….. IV
IV
Bab I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah
Fenomena
merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks.
Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan,
karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan
keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga,
masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya
belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka
adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga
tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa
depan cerah.
Pada tahun 2008
jumlah anak jalanan sekitar 8.000 orang, pada tahun 2009 jumlah mereka mencapai
lebih dari 12.000 jiwa. Dan pada tahun 2010, ketika pertama kali dilakukan pendataan secara
nasional, ditemukan ada sekitar 240.000 anak jalanan di 12 kota besar di
Indonesia. Angka yang
fantastik jika sekarang pada tahun 2011 ini angka tersebut mengalami kenaikan
lagi. Padahal, Pemprov DKI menjadikan penekanan jumlah anak jalanan sebagai
salah satu agenda kerja prioritas tahun lalu. Oleh karena itu, sebagai
sesama manusia sudah selayaknyalah kita membuat suatu kontribusi yang dapat
membantu anak-anak kurang beruntung tersebut dengan cara apapun yang dapat kita
usahakan sebagai suatu penghormatan terhadap sesama manusia ciptaan-Nya.
Sekitar 5-7% dari mereka, mengaku lari dari rumah karena kekerasan
dalam rumah tangga. Setiap tahun, jumlah anak jalanan terus meningkat.
Direktorat Jenderal Pelayanan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial pada 2009
mencatat ada 5,4 juta anak terlantar di seluruh Indonesia.
Itu baru soal kekerasan terhadap anak. Eksploitasi ekonomi atas
anak juga masih menjadi masalah besar di Indonesia. Pada tahun 2000, Badan
Pusat Statistik menemukan ada 2,1 juta anak di Indonesia yang bekerja pada
situasi buruk. Sekitar 50% dari total pekerja anak itu, bekerja sampai 35 jam
seminggu.
Minimnya niat politik
pemerintah dan peran serta masyarakat dalam perlindungan anak juga tercermin
dari peningkatan angka kekerasan anak. Sepanjang 2010, Komnas Perlindungan Anak
menerima 2.335 pengaduan mengenai kasus kekerasan terhadap anak. Angka ini
meningkat dari jumlah pengaduan di 2009, yakni 1.998 kasus. Dari total
pengaduan yang masuk ke Komnas Perlindungan Anak, sebanyak 62,7% adalah
kekerasan seksual dalam bentuk sodomi, perkosaaan, pencabulan, serta incest.
Selebihnya adalah kekerasan fisik dan psikis.
1
Peningkatan angka kekerasan ini menyingkap wajah lain dari mereka
yang seharusnya menjadi penanggung jawab kemaslahatan anak. Data Komnas Anak
menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak acap kali terjadi di lingkungan
terdekat, seperi di rumah tangga, sekolah, Lembaga Pendidikan, dan lingkungan
anak. Pelakunya pun tidak jauh-jauh dari sekeliling mereka seperti orangtua,
paman, guru, teman-teman, bapak/ibu
angkat, maupun ayah/ibu tiri.
Angka-angka
tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup dan masa depan anak-anak sangat
memperihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan sekaligus
tumpuan masa depan bangsa. Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita
memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan negara juga kurang
menggembirakan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak bangsa
kita mengalami lost generation (generasi yang hilang).
Maka dari itu
kami mengangkat tema tentang anak jalanan, suatu permasalahan sosial yang kini
merebak di sekeliling kita. Untuk mengetahui permasalahan, penyebab, hingga
solusi mengenai anak jalanan.
I.2 Batasan Masalah
Pembahasan mengenai anak jalanan dan solusi untuk penanganannya,
akan dibatasi pada hal-hal berikut:
1.
Apa saja faktor
munculnya anak jalanan?
2.
Bagaimana perkembangan
psikologis anak jalanan?
3.
Masihkah ada
ruang bagi anak jalanan?
4.
Apa saja solusi
yang tepat untuk problem anak jalanan?
I.3 Tujuan Penelitian
Kami melakukan penelitian ini dengan mengangkat tema “Anak Jalanan”, dengan judul “Pengaruh
Lingkungan Terhadap Anak Jalanan”, bertujuan
untuk:
1.
Dapat mengenali
anak jalanan secara pendekatan.
2.
Mengetahui
latar belakang munculnya anak jalanan.
3.
Mengetahui
faktor-faktor apa saja yang menyebabkan munulnya anak jalanan.
4.
Mencari tahu
solusi yang tepat untuk menangani problem anak jalanan.
2
I.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yang telah kami lakukan yaitu:
1.
Kami dapat
lebih mengenali latar belakang anak-anak jalanan.
2.
Mengetahui
perkembangan psikologis anak-anak jalanan.
3. Mendapatkan pelajaran berharga dari mereka, tentang semangat mereka bertahan hidup.
I.5 Landasan Teori
I.5.1 Konsep Anak
Konsep “anak”
didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut
pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan
belum menikah. Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
Untuk kebutuhan
penelitian ini, kami mendifinisikan anak sebagai seorang manusia yang masih
kecil yang berkisar usianya antara 6–16 tahun yang mempunyai ciri-ciri fisik
yang masih berkembang dan masih memerlukan dukungan dari lingkungannya,
terutama lingkungan keluarganya.
Sebagai manusia
yang tengah tumbuh-kembang, anak memiliki keterbatasan untuk mendapatkan
sejumlah kebutuhan, seperti kebutuhan jasmani, rohani, dan social. Menurut
Maslow, kebutuhan manusia mencakup:
A.
Kebutuhan fisik
seperti udara, air, makan, dan lain-lain
B.
Kebutuhan rasa
aman
C.
Kebutuhan untuk
saling menyayangi
D.
Kebutuhan untuk
penghargaan
E.
Kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri dan tumbuh-kembang.
Orang dewasa termasuk orang tuanya, masyarakat
dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak anak tersebut. Permasalahannya
adalah orang yang berada di sekitarnya termasuk keluarganya seringkali tidak
mampu memberikan hak-hak tersebut. Seperti misalnya pada keluarga miskin,
keluarga yang pendidikan orang tua rendah, perlakuan salah pada anak, persepsi
orang tua akan keberadaan anak, dan sebagainya. Pada anak jalanan, kebutuhan
dan hak-hak anak tersebut tidak dapat terpenuhi dengan baik. Untuk itulah
menjadi kewajiban orang tua, masyarakat dan manusia dewasa lainnya untuk
mengupayakan upaya perlindungannya agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi
secara optimal.
3
Berbagai upaya
telah dilakukan dalam merumuskan hak-hak anak. Respon ini telah menjadi
komitmen dunia international dalam melihat hak-hak anak. Ini terbukti dari
lahirnya konvensi internasional hak-hak anak. Indonesiapun sebagai bagian dunia
telah meratifikasi konvensi tersebut. Keseriusan Indonesia melihat persoalan
hak anak juga telah dibuktikan dengan lahirnya Undang-undang RI Nomor 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak. Tanpa terkecuali, siapapun yang termasuk dalam
kategori anak Indonesia berhak mendapatkan hak-haknya sebagai anak.
I.5.2 Konsep
Anak Jalanan
Anak
yang berusia 5–18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari
nafkah dan atau berkeliarandi jalanan maupun ditempat – tempat umum.
Kriteria :
A.
Anak ( laki-laki/perempuan) usia 5-18 tahun.
B.
Melakukan kegiatan tidak menentu, tidak jelas kegiatannya dan atau
berkeliaran di jalanan atau ditempat umum minimal 4 jam/hari dalam kurun waktu
1 bulan yang lalu, seperti: pedagang asongan, pengamen, ojek payung, pengelap
mobil, pembawa belanjaan di pasar dan lain-lain.
C.
Kegiatan dapat membahayakan dirinya sendiri atau menggangu
ketertiban umum.
I.5.3 Konsep
Keluarga
Keluarga adalah
sejumlah orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dan diikat oleh
tali pernikahan yang satu dengan lainnya memiliki saling ketergantungan. Secara
umum keluarga memiliki fungsi:
A.
Reproduksi
B.
Sosialisasi
C.
Edukasi
D.
Rekreasi
E.
Afeksi
F.
Proteksi.
4
Bab II
Pembahasan
Pengemis dan pengamen jalanan seringkali dianggap sebagai “sampah
masyarakat”, karena baik pemerintah maupun masyarakat merasa terganggu oleh
kehadiran mereka yang lalu lalang di perempatan lalu lintas, di pinggir jalan,
di sekitar gedung perkantoran, pertokoan, dan banyak tempat-tempat lain yang
seringkali di jadikan tempat beroperasi. Belakangan ini pengemis, pengamen, dan
gelandangan semakin banyak berkeliaran di jalanan, terutama di Jakarta dan
kota-kota besar lainnya, termasuk kota Bekasi. Di kota Bekasi sendiri misalnya,
mereka beroperasi di terminal, stasiun, di pinggiran jalan atau lampu merah.
Pemuda, remaja, pasangan suami-istri, anak-anak, dan perempuan renta semakin
menyesaki ruang publik kita. Itulah yang menyebabkan sebagian besar dari kita
merasa sangat terganggu dengan keberadaan mereka yang hampir ada di mana-mana
dan membuat kita merasa tidak nyaman. Banyaknya kriminalitas juga seringkali dikaitkan
terutama dengan anak-anak jalanan, karena mereka di beberapa kesempatan
terlihat melakukan tindak-tindak kriminalitas seperti pencopetan, perampasan,
melakukan tindak kekerasan, penodongan, pelecehan seksual, perkelahian, dan
masih banyak kejahatan-kejahatan lain yang rentan dilakukan oleh anak-anak
jalanan. Mungkin hal-hal tersebut yang akhirnya membuat pemerintah dan
masyarakat menganggap mereka sebagai “sampah masyarakat”.
Sering kita melihat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merazia
Anak-anak Jalanan dan Gelandangan untuk dibawa ke Dinas Sosial dengan alasan
dan dalih untuk ‘Di Bina dan Dididik’ secara baik sehingga mereka tidak kembali
ke jalan lagi. Namun yang terjadi di balik dalih pembinaan sosial tersebut
justru adanya tindak kekerasan, pelecehan dan pelanggaran hak-hak anak yang
dialami oleh anak-anak jalanan. Kejadian tersebut jarang terungkap ke
masyarakat karena anak-anak jalanan selaku korban tidak banyak yang melakukan
perlawanan apalagi hingga melapor ke pihak yang berwajib karena mereka takut
hal itu justru akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pada saat kita pergi
kita sering melihat banyak pengemis, pengamen, dan lain-lain.
Hal Itu merupakan salah satu akibat dari kemiskinan. Kemiskinan
memang saat ini masih belum ada solusinya, tetapi tampaknya Pemerintah masih
belum maksimal dalam menangani masalah kemiskinan. Dan itu bukan hanya salah
Pemerintah saja tetapi kita juga harus dapat mengatasi kemiskinan tersebut,
karena untuk mengubah kemiskinan harus dibutuhkan mental yang bagus. Kemiskinan
memang dapat mengganggu kesejahteraan masyarakat, dan itu sangat tampak dari
semakin banyaknya pengemis dan pengamen jalanan dimana-mana yang kadang
mengganggu kenyamanan kita. Mungkin kemiskinan terjadi karena tidak dapat
membiayai kehidupan secara langsung. Dan itulah yang terjadi sekarang ini,
bahwa kemiskinan sekarang ada dimana-mana dan menyebabkan semakin bertambahnya
‘sampah masyarakat’.
5
23 Juli telah
ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional (HAN).
Momentum seperti ini seharusnya bisa dijadikan sebagai bahan refleksi
terhadap silang-sengkarutnya dunia anak yang terkebiri dan termarginalkan. Tak
jarang anak-anak dari keluarga tak mampu sering “dipaksa” untuk secepatnya menjadi dewasa dengan
beban tanggung jawab ekonomi keluarga secara berlebihan sehingga mereka tak sempat menikmati masa
kanak-kanak yang ceria dan menyenangkan. Sudut-sudut kota pun sarat dengan
keliaran anak-anak jalanan. Ironisnya, tak sedikit aparat yang menilai
kehadiran mereka sebagai sampah masyarakat yang mesti dikarantina tanpa ada
kemauan politik untuk membebaskan mereka dari cengkeraman kemiskinan dan
ketidakadilan.
Anak jalanan,
agaknya masih menjadi salah satu problem klasik di negara-negara berkembang,
termasuk di negara kita. Kehadiran mereka di sudut-sudut kota yang pengap dan
kumuh bisa jadi sangat erat kaitannya dengan jeratan kemiskinan
yang menelikung orang tuanya. Masih jutaan keluarga di
negeri ini yang hidup di bawah standar kelayakan. Untuk menyambung hidup,
mereka dengan sengaja mempekerjakan anak-anak untuk berkompetisi di tengah
pertarungan masyarakat urban yang terkesan liar dan kejam. Kekerasan
demi kekerasan
seperti mata rantai yang menempa sekaligus menggilas anak-anak miskin hingga
akhirnya mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang terbelah. Tentu saja, kita
tidak bisa bersikap apriori dengan mengatakan, “Salahnya sendiri, kenapa
miskin?” kalau saja mereka punya pilihan untuk dilahirkan, sudah pasti tak ada
seorang pun anak manusia yang ingin lahir dan besar di tengah-tengah deraan kemiskinan
orang tuanya.
Dari sisi latar
belakang kehidupan keluarga
yang sangat tidak nyaman untuk tumbuh dan berkembang secara wajar, sesungguhnya
tak ada tempat untuk menyia-nyiakan anak-anak miskin yang terlunta-lunta hidup
di jalanan. Kehadiran mereka justru perlu diberdayakan dengan sentuhan lembut
penuh kemanusiawian. Namun, berkembangnya sikap latah dan kemaruk ingin menjadi
kaum borjuis dan bergaya hidup feodal secara instan agaknya telah membakar dan
menghanguskan nilai-nilai kemanusiawian itu. Alih-alih menyantuni, gaya
hidup borjuasi dan feodalistik itu, disadari atau tidak, justru telah
memosisikan anak-anak jalanan makin kehilangan kesejatian dirinya. Kata-kata
kasar dan perlakuan tak senonoh sudah menjadi hiasan hidup dalam keseharian
anak-anak jalanan. Orang-orang kaya yang seharusnya bisa memberdayakan dan
menggerakkan semangat hidup mereka justru makin tenggelam dalam sikap hipokrit,
pongah, dan kehilangan kepekaan terhadap nasib sesama.
Kondisi itu
diperparah dengan sikap negara yang belum sepenuhnya mampu memberikan
perlindungan memadai buat mereka. Melalui tangan-tangan aparatnya, anak-anak
jalanan justru digaruk dan dihinakan di atas mobil bak terbuka; diarak dan
dipertontonkan kepada publik. Sungguh, sebuah perlakuan purba yang jauh dari
nilai-nilai kesantunan masyarakat beradab.
Kini, ketika
momentum HAN itu tiba, tak jugakah kita tergerak untuk menjadikan anak-anak
jalanan sebagai generasi masa depan yang punya hak untuk hidup secara layak di
bumi yang konon “gemah ripah loh jinawi” ini? Sudah tak ada ruangkah bagi
mereka untuk bersemayam di dalam rongga hati kita hingga akhirnya mereka
benar-benar harus kehilangan masa depan?
6
Setiap anak
merupakan asset yang akan meneruskan cita-cita suatu bangsa, untuk mencetak
anak-anak yang kelak dapat menjadi tulang punggung bangsanya harus dipersiapkan
sejak dini melalui pemenuhan kebutuhan fisik, mental maupun sosial yang sesuai
dengan masa tumbuh kembangnya. Namun, sejak terjadi krisi moneter yang melanda
Indonesia, bnanyak anak-anak yang terabaikan kebutuhannya. Salah satu
fenomenanya adalah keberadaan anak jalanan.
Anak jalanan
atau biasa disingkat anjal adalah potret kehidupan anak-anak yang kesehariannya
sudah akrab di jalanan. Dan mungkin kita sudah tidak asing tentang sosok ini,
karena disetiap penjuru kota, kita dapat dengan mudah menemukan mereka. Lalu
apa sebenarnya yang terjadi dengan anak-anak ini? Mereka yang tergolong kecil dan
masih dalam tanggung jawab orang tuanya harus berjuang meneruskan hidup sebagai
anak
jalanan dan terkadang mereka menjadi sasaran tindak kekerasan dari
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tapi ada juga sebagian orang tua yang
dengan alasan untuk membantu ekonomi keluarga, menganjurkan agar anak-anaknya
untuk menghabiskan masa kecilnya sebagai anak jalanan. Banyak faktor mengapa
mereka menjadi anak jalanan, disamping masalah ekonomi keluarga salah satunya
adalah kurangnya pendidikan. Usia mereka yang relatif masih kecil dan muda
seharusnya masih dalam tahap belajar dan merasakan sebuah pendidikan, tetapi
mungkin karena dengan alasan tertentu, mereka malah asyik menikmati hidup sebagai
anak jalanan dan tidak mementingkan sebuah pendidikan.
Bila kita melihat orang jalanan atau pengamen yang selalu yang ada
di benak kita adalah anak yang kotor, kumuh, dan nakal. Memang semua itu benar,
tapi ada suatu hal yang lebih berharga di balik semua itu. Anak jalanan atau
pengamen mempunyai suatu keistimewaan yang tidak kita miliki. Apa
keistimewaannya? Setiap hari mereka mampu melawan kekejaman kehidupan hanya
untuk satu tujuan yaitu mencari uang untuk hidup sehari. Walaupun yang didapat
sedikit namun mereka tetap bersyukur dan tak mengenal kata “putus asa” untuk
kembali berjuang pada hari-hari selanjutnya. Namun bagaimana dengan kita? Belum tentu kita sehebat itu.
Seperti anak jalanan yang kami riset ini. Seolah tak peduli
dengan kendaran yang lalu lalang. Dengan
penuh semangat, kedua anak itu meneruskan langkah kakinya di pinggiran jalan.
Miris rasanya, melihat mereka menikmati kepedihan hidup. Tak ada
yang peduli, bahkan tidak sedikit yang menganggapnya jijik. Di usia mereka yang
masih relatif kecil dan muda, seharusnya mereka masih dalam tahap belajar
dan merasakan pendidikan, layaknya anak-
anak yang lain. Latar belakang ekonomi di bawah garis kemiskinan mendorong
mereka untuk menjadi tulang punggung keluarga mereka.
Sesekali mereka menghampiri mobil-mobil mewah yang berhenti di
lampu merah. Bani mulai memetik dawai gitar, dan Sandi pun mengikutinya dengan
menabuh tipung, yang sehari-hari menjadi teman setianya menjalani hidup. Di
usianya yang baru menginjak 12 tahun, seharusnya mereka masih mengenyam bangku
pendidikan. Tetapi tidak dengan mereka, setiap hari mereka harus bersusah payah
mengais rejeki, demi menyambung hidup.
Di tengah ketiadaan pengertian untuk anak jalanan, dapat ditemui
adanya pengelompokan anak jalanan berdasar hubungan mereka dengan keluarga.
Pada mulanya ada dua kategori anak jalanan, yaitu, anak-anak yang turun ke
jalanan dan anak-anak yang ada di jalanan.
7
Berdasarkan hasil observasi kami, didapatkan data-data sebagai
berikut:
Data ke-1
Nama :
Bani
Umur : 12 tahun
Anak ke : 1 dari 3 bersaudara
Umur : 12 tahun
Anak ke : 1 dari 3 bersaudara
Pernah bersekolah di :
SD Harapan Jaya (tidak tamat)
Pekerjaan orang tua : Pemulung
Pekerjaan : Pengamen
Pekerjaan orang tua : Pemulung
Pekerjaan : Pengamen
Data ke-2
Nama :
Sandi
Umur : 14 tahun
Umur : 14 tahun
Anak ke :
4 dari 6 bersaudara
Asal :
Karawang
Pernah bersekolah di : SD Harapan Jaya (tidak tamat)
Pekerjaan orang tua : Pemulung
Pekerjaan : Pengamen
Pernah bersekolah di : SD Harapan Jaya (tidak tamat)
Pekerjaan orang tua : Pemulung
Pekerjaan : Pengamen
8
Ketika kami tanya perihal kenapa kalian mengamen, jawaban mereka
cukup sederhana,” cari uang untuk makan.”
Penyebab utama anak berada di jalan untuk mencari nafkah tidak
lepas dari masalah kemiskinan. "Saya mencari uang sendiri untuk cari makan
dan menyekolahkan adik-adik saya. Adik saya ingin sekolah semua, ya sudah, kami
mencari biaya" kata Bani, pengamen anak di Bekasi yang berhenti sekolah
ketika masih kelas 2 SD.
Anak jalanan ini pada umumnya bekerja pada sektor informal. Fenomena
munculnya anak jalanan ini bukanlah karena adanya transformasi sistem sosial
ekonomi dan masyarakat pertanian ke masyarakat pra-industri atau karena proses
industrialisasi. Fenomena ini muncul dalam bentuk yang sangat eksploratif
bersama dengan adanya transformasi sosial ekonomi masyarakat industrialisasi
menuju masyarakat yang kapitalistik.
Kaum marjinal ini selanjutnya mengalami distorsi nilai, diantaranya
nilai tentang anak. Anak, dengan demikian bukan hanya dipandang sebagai beban,
tetapi sekaligus dipandang sebagai faktor ekonomi yang bisa dipakai untuk
mengatasi masalah ekonomi keluarga. Dengan demikian, nilai anak dalam pandangan
orang tua atau keluarga tidak lagi dilihat dalam kacamata pendidikan, tetapi
dalam kepentingan ekonomi. Sementara itu, nilai pendidikan dan kasih sayang
semakin menurun. Anak dimotivasi untuk bekerja dan menghasilkan uang.
Dalam konteks permasalahan anak jalanan, masalah kemiskinan dianggap
sebagai penyebab utama timbulnya anak jalanan ini. Hal ini dapat ditemukan dari
latar belakang geografis, sosial ekonomi anak yang memang datang dari
daerah-daerah dan keluarga miskin di pedesaan maupun kantong kumuh perkotaan.
Namun, mengapa mereka tetap bertahan, dan terus saja berdatangan sejalan dengan
pesatnya laju pembangunan?
Tidak cukup sampai disitu. Lingkungan juga sangat berpengaruh
terhadap perilaku anak jalanan. Betapa tidak, Bani dan Sandi yang seharusnya
menikmati masa kecilnya dengan bermain dan bersekolah, kini mereka harus
mengais rejeki dengan menjadi pengamen di jalanan.
Lingkungan juga
mempengaruhi mereka dalam hal pendidikan. Ketika kami Tanya ”kenapa kalian
tidak bersekolah?” jawaban mereka cukup memprihatinkan, ”gak ada biaya”.
Kemudian kami bertanya lagi, ”sekarang kan ada program sekolah gratis dek,
kenapa gak sekolah?” mereka hanya menjawab, ”boro-boro untuk sekolah kak, untuk
makan aja susah kak.”. Padahal Pasal 9
ayat (1) UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan: “Setiap
anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”.
Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan
mental mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak
mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Kita tak cukup
memberinya makan dan minum saja, atau hanya melindunginya di sebuah rumah,
karena anak membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang adalah fundamen pendidikan.
Tanpa kasih, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan. Pendidikan tanpa cinta
seperti nasi tanpa lauk, menjadi kering hambar, tak menarik. Pendidikan pada
hakekatnya bertujuan membentuk karakter anak menjadi anak yang baik.
9
Selain itu, mereka juga menuturkan pengalaman
mereka ketika mengarungi hidup menjadi pengamen jalanan. Mereka pernah digrebeg
Satpol PP, bermalam di lapas untuk dikarantinakan. Kemudian dikirim ke Panti
Asuhan untuk dididik. Panti Asuhan yang seharusnya menjadi tempat berlindung
dan belajar bagi mereka, malah menjadi sebuah tempat yang menakutkan karena di
sana mereka dididik dengan kekerasan. Hal tersebut kami dapat berdasarkan
pengakuan dari mereka sendiri. Jangankan ingin membela diri, untuk melaporkan
kepada pihak yang berwajib saja mereka harus berfikir ulang, karena untuk
mengurus dan mengusut kasus tersebut setidaknya mereka harus mengeluarkan dana,
dan itu mustahil bagi mereka. Bisa jadi itu menjadi bumerang untuk mereka
sendiri. Tidak ada jalan lain selain kabur dari tempat yang membuat jiwa mereka
tidak tenang. Bagaimana tidak, untuk keluar dari tempat tersebut keluarga
mereka harus membayar sejumlah uang kepada pihak Panti Asuhan. Bukan hanya itu, mereka pun harus menghadapi
preman-preman yang setiap saat siap mengancam keselamatan mereka, ketika mereka
kembali ke jalanan.
Mereka anak jalanan adalah anak yang butuh perhatian
dan kasih sayang. Mereka pun berhak mendapatkan perlindungan selayaknya
anak-anak pada umumnya. Tidak seharusnya mereka dikucilkan, direndahkan, dan
tidak dipenuhi akan semua hak-haknya. Seharusnya mereka itu dirangkul, dididik
dan diberikan hak-haknya untuk dilindungi.
Sebagai manusia yang tengah tumbuh-kembang,
anak memiliki keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah kebutuhan, seperti kebutuhan
jasmani, rohani, dan sosial. Menurut Maslow, kebutuhan manusia mencakup:
A.
Kebutuhan fisik
seperti udara, air, makan, dan lain-lain
B.
Kebutuhan rasa
aman
C.
Kebutuhan untuk
saling menyayangi
D.
Kebutuhan untuk
penghargaan
E.
Kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri dan tumbuh-kembang.
Padahal menurut UUD 1945, “anak terlantar itu
dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap
pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak
asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak
asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang
hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana
layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms),
lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family environment and
alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and
welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and
culture activites), dan perlindungan khusus (special protection).
SUSENAS tahun 2000 juga menunjukkan bahwa salah
satu faktor ketidakberhasilan pembangunan nasional dalam berbagai bidang itu,
antara lain, disebabkan oleh minimnya perhatian pemerintah dan semua pihak
terhadap eksistensi keluarga. Perhatian dan treatment yang terfokus pada
“keluarga sebagai basis dan sistem pemberdayaan” yang menjadi pilar utama
kehidupan berbangsa dan bernegara relatif belum menjadi komitmen bersama dan
usaha yang serius dari banyak pihak.
10
Padahal, masyarakat dan negara yang sehat,
kuat, cerdas, dan berkualitas dipastikan karena tumbuh dan berkembang dari dan
dalam lingkungan keluarga yang sehat, kuat, cerdas dan berkualitas. Dengan
demikian, masalah anak termasuk anak jalanan perlu adanya penanganan yang
berbasis keluarga, karena keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama
masa depan anak-anak mereka.
Sebagai contoh, anak jalanan di DKI Jakarta,
adalah salah satu kasus. Berjumlah 31.304 anak, sedangkan Panti Pemerintah yang
memberikan pelayanan sosial terhadap mereka hanya berjumlah 9 panti, yaitu : 4
Panti Balita Terlantar, 4 Panti Anak Jalanan dan 1 Panti Remaja Putus Sekolah.
Daya tampung keseluruhannya adalah 2.370 anak. Sementara itu, Panti Sosial
Asuhan Anak yang diselenggarakan masyarakat berjumlah 58 Panti dengan daya
tampung 3.338 anak dan pelayanan sosial kepada anak di luar panti sebanyak
3.200 anak. Secara akumulatif jumlah yang mendapat pelayanan Panti dan
non-Panti adalah 8.908 anak dan yang belum tersentuh pelayanan pemerintah
maupun organisasi sosial atau LSM adalah 22.396 anak (Profil Dinas Bina Mental
Spiritual dan Kesejahteraan Sosial Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, 2002).
Persebaran anak jalanan di DKI Jakarta juga
cukup merata. Data yang diterbitkan oleh Dinas Bina Mental Spiritual dan
Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta menyebutkan bahwa setidaknya ada 18.777 orang
anak jalanan di DKI pada tahun 2003 ini.
Data tersebut cukup memperihatinkan kita semua,
karena idealnya sebagai “kota percontohan” DKI dapat bebas dari masalah anak
jalanan, atau setidak-tidaknya jumlah anak jalanan tergolong rendah di seluruh
propinsi di Indonesia. Selama ini, penanganan anak jalanan melalui panti-panti
asuhan dan rumah singgah dinilai tidak efektif. Hal ini antara lain terlihat
dari “pola asuh” yang cenderung konsumtif, tidak produktif karena yang
ditangani adalah anak-anak, sementara keluarga mereka tidak diberdayakan.
Bani dan Sandi
hanyalah beberapa anak jalanan yang kita ketahui latar belakang dan
permasalahannya. Mereka hanyalah segelintir anak-anak yang kurang beruntung
jika dibandingkan dengan kita. Namun demikian, mereka juga punya cita-cita.
Bani yang sangat mengidolakan tokoh pesepak bola terkenal Elloco Gonzales, dan
Sandi yang menggemari pesepak bola terkenal Bambang Pamungkas, mempunyai
cita-cita yang sama, yaitu ingin menjadi pemain bola sehebat tokoh idola
mereka.
Sejauh ini
sudah ada lembaga-lembaga yang peduli dengan anak jalanan. Di antaranya adalah
:
1.
Rumah Singgah
2.
KOPAJA (Komutitas peduli Anak Jalanan)
3. Griya Baca Kota Malang, sebuah Lembaga Pemberdayaan Anak Jalanan yang inspiratif
4. Komunitas peduli anak yatim dan jalanan, dll
11
Masalah anak jalanan adalah masalah yang
sangat kompleks yang menjadi masalah kita bersama. Masalah ini tidak dapat
ditangani hanya oleh satu pihak saja melainkan harus ditangani bersama-sama
oleh berbagai pihak yang perduli permasalahan ini juga dapat diatasi dengan
suatu program yang komprehensi dan tidak akan dapat tertangani secara efektif bila
dilaksanakan secara persial. Dengan demikian kerja sama antara berbagai pihak,
pemerintah, LSM, masa media mutlak diperlu
Ketika mereka dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku
kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah berperan serta menjadikan
anak-anak sebagai korban tak berkesudahan. Menghapus stigmatisasi di atas
menjadi sangat penting.
Sebenarnya
anak-anak jalanan hanyalah korban dari konflik keluarga, komunitas jalanan, dan
korban kebijakan ekonomi permerintah yang kurang pandai mengurus rakyat. Untuk
itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus
menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar
menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap anak jalanan.
|
Sebenarnya
anak jalanan tidak berbeda dengan anak yang lainnya, mereka juga mempunyai
potensi dan bakat. Pada masa anak-anak seperti itu otak yang memuat 100-200
milyar sel otak siap dikembangkan serta diaktualisasikan untuk mencapai tingkat
perkembangan potensi tertinggi. Pada perkembangan otak manusia mencapai
kapasitas 50 % pada masa anak usia dini. Kita telah benar-benar mellupakan hak
anak-anak untuk bermain, bersekolah, dan hidup sebagaimana lazimnya anak-anak
lainnya. Mereka dipaksa orang tua untuk merasakan getirnya kehidupan.
Mereka
tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan
kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa
dan membuatnya berperilaku negatif. Mengkaitkan kandungan hak-hak anak
sebagaimana yang tercantum dalam KHA dengan realitas yang ada, maka akan
terlihat suatu kesenjangan yang cukup tinggi. Penghormatan negara atas hak-hak
anak jalanan dinilai masih sangat minim, bahkan pada kebijakan-kebijakan
tertentu seperti razia-razia yang sarat dengan nuansa kekerasan, negara
kerapkali dinilai melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak (jalanan).
12
Kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam rangka memenuhi hak-hak anak jalanan harus senantiasa
ditingkatkan. Hal ini mengingat anak sebagai aset dan generasi penerus bangsa.
Salahsatunya adalah dengan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi anak-anak
jalanan. Pendidikan yang dimaksudkan disini adalah pendidikan formal
sebagaimana yang dicanangkan pemerintah dalam Gerakan Wajib Belajar 9 tahun dan
tentu saja dengan biaya pendidikan gratis atau murah bagi anak-anak jalanan
yang memiliki keluarga miskin.
|
Proses
Belajar Anak Jalanan
|
Pasal
9 ayat (1) UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan; “Setiap
anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”.
Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan
mental mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak
mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Kita tak cukup
memberinya makan dan minum saja, atau hanya melindunginya di sebuah rumah,
karena anak membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang adalah fundamen pendidikan.
Tanpa kasih, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan. Pendidikan tanpa cinta
seperti nasi tanpa lauk,menjadi kering hambar, tak menarik.
Peran
dan fungsi rumah singgah bagi program pemberdayaan anak jalanan sangat penting.
Secara ringkas fungsi rumah singgah antara lain :
·
Sebagai tempat perlindungan dari
berbagai bentuk kekerasan yang kerap menimpa anak jalanan dari kekerasan dan
prilaku penyimpangan seksual ataupun berbagai bentuk kekerasan lainnya.
·
Rehabilitasi, yaitu mengembalikan
dan menanamkan fungsi sosial anak.
·
Sebagai akses terhadap pelayanan,
yaitu sebagai persinggahan sementara anak jalanan dan sekaligus akses kepada
berbagai pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dll. Lokasi rumah
singgah harus berada ditengah-tengah masyarakat agar memudahkan proses
pendidikan dini, penanaman norma dan resosialisasi bagi anak jalanan.
13
|
Rumah
Singgah Anak Jalanan
|
Rumah
singgah sebagai tempat pemusatan sementara yang bersifat non formal, dimana
anak-anak bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk
ke dalam proses pembinaan lebih lanjut .rumah singgah didefinisikan sebagai
perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Rumah
singgah merupakan proses non formal yang memberikan suasana pusat resosialisasi
anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma di masyarakat. Tujuan dibentuknya
rumah singgah adalah resosialisasi yaitu membentuk kembali sikap dan prilaku
anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat dan
memberikan pendidikan dini untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa
depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif.
14
Bab I
Penutup
v Kesimpulan
Masalah
anak jalanan adalah masalah yang sangat kompleks yang menjadi masalah kita
bersama. Masalah ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu pihak saja melainkan
harus ditangani bersama-sama oleh berbagai pihak yang perduli permasalahan ini
juga dapat diatasi dengan suatu program yang komprehensi dan tidak akan dapat
tertangani secara efektif bila dilaksanakan secara persial. Dengan demikian
kerja sama antara berbagai pihak, pemerintah, LSM, masa media mutlak
diperlukan.
Khusus
mengenai aspek hukum yang melindungi anak jalanan yang terpaksa bekerja juga
merupakan komponen yang perlu diperhatikan karena masih lemahnya peraturan dan
perundang-undangan yang mengatur masalah ini.
v Saran
Penanggulangan
dari masalah di atas dapat dilakukan dengan pertama: melalui proram aksi
langsung. Program ini biasanya ditujukan kepada kelompok sasarannya yaitu para
anak jalanan, misalnya saja ruamh singgah sebagai tempat pemusatan pendidikan
non-formal, peningkatan pendapatan keluarga, pelayanan kesehata. Tipe pekerjaan
ini biasanya yang dilakukan oleh LSM-LSM. Kedua adalah program peningkatan
kesadaran masyarakat. Aktivitas program ini untuk menggugah masyarakat untuk
mulai tergerak dan peduli terhadap masalah anak jalanan. Kegiatan ini dapat
berupa penerbitan bulletin, poster, buku-buku, iklan layanan masyarakat di TV,
program pekerja anak di radio dan sebagainya.
Bekasi, 28 November 2011
Penyusun
III
like (y)
ReplyDeletenice share
ReplyDeletekunjungi juga y website kami
toko aksesoris komputer online
www.awanciptacomputer.com